BIPOLAR, MERASA DIRI NABI
Senin, 21 Juni 2010
Jika orang yang Anda kenal merasa diri hebat, mengaku Jenderal, bahkan malaikat, nabi atau wakil Tuhan, waspadalah. Siapa tahu ia mengalamai gangguan bipolar (manik depresi).
Salah satu tanda bipolar yang menonjol, menurut Dr. Yul Iskandar, Sp.KJ, Ph.D, psikiater dari RS Khusus Dharma Graha, memang dlusi kebesaran (grandiosity). Celakanya, orang bipolar juga biasanya memiliki insting kuat dan apa yang terjadi pada dirinya sepertinya masuk akal, sehingga orang lain mudah tersugesti.
“Karenanya tak sedikit orang yang mengaku hebat itu lalu banyak pengikutnya, meskipun klaim bahwa dia mendapat suara atau bisikan slit dibuktikan,” tutur Dr. Yul.
Kondisi itu tak ubahnya hidup keseharian kita yang diberondong tayangan magis-mistik, dan lama-kelamaan membuat kita percaya juga.
Merusak hubungan
Gangguan bipolar sendiri merupakan penyakit mental kronis dan parah yang juga dikenal sebagai manik depresi. Gangguan ini menyebabkan terjadinya perubahan suasana hati, energi, dan perilaku lain yang tidak normal. Akibatnya berpengaruh buruk pada prestasi sekolah maupun kerja, merusak hubungan antarmanusia, bahkan bisa berakhir dengan tindakan bunuh diri.
Gangguan itu belum diketahui secara pasti penyebabnya, tetapi diduga berkaitan dengan virus yang menyerang otak. Serangan virus berlangsung semasa janin dalam kandungan atau di tahun pertama sesudah lahir. Namun, baru 15-20 tahun kemudian mewujud menjadi bipolar.
“Itu karena pada usia 15 tahun kelenjar timus dan pinelis yang mengeluarkan hormon yang dapat mencegah gangguan psikiatrik hebat sudah berkurang menjadi 50 persen,” papar Dr. Yul, dalam acara dialog media di Jakarta, belum lama ini.
Di samping delusi kebesaran, tanda lain dari bipolar adalah hiperaktivitas, mudah marah, murung, ide meloncat-loncat, dan bunuh diri. Sekitar 16 persen dari pasien bipolar berkencederungan untuk membunuh dirinya.
“Kebut-kebutan atau ngetrek itu juga termasuk gejala bunuh diri, tetapi sebetulnya kasus bunuh diri di Jakarta masih kecil,” katanya.
Saat ini di Amerika Serikat, sekitar 1 persen dari populasi orang usia 18 tahun ke atas mengalami gangguan bipolar. Jika angka itu juga berlaku di Indonesia, berarti bisa lebih 2 juta penderitanya.
“Yang berkonsultasi ke psikiater baru kira-kira 30 sampai 50 persen karena mereka merasa tidak tergangu,” tambahnya. Dr. Yul. sendiri baru menangani sekitar 30-50 orang pasien bipolar.
Akibat anggapan salah itu, tak sedikit pasien yang bari berkonsultasi ke psikiater 6 tahun setelah gejala depresi muncul. Tentu saja kondisi penyakitnya sudah berat. Selama kurun waktu itu banyak juga pasien yang lebih dulu dibawa melanglang berobat ke tempat lain, bisa medis maupun alternatif. dan tidak langsung menuju dokter ahli jiwa.
Tidak seperti skizofrenia, pada bipolar ada kalanya terjadi fase baik. Mungkin itu sebabnya proses terapi akhirnya berlangsung tidak maksimal.
Terapi jangka panjang
Perkembangan gangguan bipolar umumnya terjadi di akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Namun, pada beberapa penderita sudah mulai terjadi di masa kanak-kanak, sementara yang lain baru muncul menjelang akhir kehidupannya. Bipolar memang seringkali tidak bisa dikenali sebagai penyakit, meski pasien mungkin sudah menderita selama bertahun-tahun sebelum benar-benar terdiagnosa.
Seperti penyakit kronis lain, bipolar butuh perawatan jangka panjang, bahkan bisa sepanjang hidup pasien. Namun, yang penting, penyakit ini punya masa depan cukup cerah karena sudah ada obatnya. dokter biasanya akan memberikan terapi obat ini selama 5 tahun.
“Setelah itu kita coba hentikan. Kalau selama dua tahun tak pernah muncul gejala, dinyatakan sembuh,” ungkap Dr. Yul. Kemungkinan kambuh pada pasien yang menjalani terapi dengan obat ini sekitar 30 persen.
Obat-obatan yang dipakai saat ini dan sudah mendapat izin FDA (Food and Drug Administration) adalah mood stabilizer (menghentikan perubahan mood) seperti valproate, lithium, oxcarbazepentin. Obat-obatan tersebut akan membantu menyeimbangkan kondisi manik dan depresi pasien. Dengan pengobatan yang tepat ganggu bipolar dapat dikontrol secara baik.
Sayangnya, penggunaan obat bukannya tanpa efek samping. Lithium misalnya bisa memengaruhi kognisi, menyebabkan tremor, gangguan pencernaan, endokrin, menambah berat badan, gangguan kulit. Lithium juga sangat toksik. Bila diminum tidak tepat aturan, misalnya 3 kali dosis yang seharusnya, bisa berakibat kematian.
Intervensi terapi komplementer seperti rileksasi, meditasi, latihan pernapasan, terapi tertawa, dan terapi perilaku juga bisa dilakukan. Semua itu dapat membuat pasien lebih tenang.
Yang terpenting, saran Dr. Yul, keluarga memberikan dukungan penuh bila ada anggotanya yang mengalami bipolar. Caranya, dengan mengenali gejala dan segera membawanya ke dokter ahli jiwa.
Semakin dini gangguan ini diketahui dan makin cepat diobati, tentu akan optimal hasil yang dicapai.
0 komentar:
Posting Komentar