Join and earn money by advertising in Kumpulblogger.com

Badak, Legenda Sebotol Minuman

Senin, 31 Mei 2010


artikerl lainnya di haxims.blogspot.com atau www.kaskuslover.tk

KOMPAS.com — Jangan terkaget bila Anda sedang makan di sebuah rumah makan di Kota Medan, Sumatera Utara, kemudian ditawari Badak! Tenang! Anda tidak akan ditawari sup daging badak! Sudah barang tentu bukan pula akan muncul sajian sate daging badak! Badak yang ini menyegarkan.

Badak adalah merek minuman bersoda yang berusia hampir seratus tahun. Di botol minuman tertera gambar badak bercula satu dan tulisan "Badak". Badak telah melegenda di Kota Medan, Kota Pematang Siantar, dan sekitarnya. Badak dengan mudah ditemukan berdampingan dengan minuman bersoda lainnya, teh botol, dan air mineral di berbagai rumah makan.

"Bagi orang Medan dan Pematang Siantar, minuman Badak ini sangat terkenal. Sudah lama mereka mengenal. Kebanyakan dijual di restoran Tionghoa dan rumah makan Batak Toba," kata Jhoni Siahaan, warga Medan.

Di salah satu rumah makan di Jalan KH Wahid Hasyim, barisan botol Badak berjajar di antara jajaran Coca-Cola, Fanta, Sprite, teh Sosro, Aqua, dan minuman lain. Mungkin, Badak satu-satunya minuman bersoda yang bisa bersaing dengan produk-produk bermerek internasional.

Bagi warga Medan dan Pematang Siantar, Badak telah menjadi bagian sejarah mereka sejak lama. Badak lebih dahulu dikenal dibandingkan dengan minuman bersoda dengan merek internasional dan teh botol itu. Badak telah hadir di Pematang Siantar dan Medan.

Tahun 1916, pabrik dengan nama NV Ijs Fabriek Siantar didirikan Heinrich Surbeck—pria kelahiran Halau, Swiss—di Kota Pematang Siantar. Perusahaan ini memproduksi es batu dan juga minuman bersoda. Melihat angka tahunnya, minuman ini diproduksi jauh sebelum minuman bersoda lainnya masuk ke Indonesia, seperti Coca-Cola yang diperkenalkan tahun 1927 dan baru diproduksi di Jakarta tahun 1932.

Tidak diketahui persis alasan Pematang Siantar dipilih sebagai lokasi pabrik. Hanya saja kota itu diperkirakan menghasilkan air yang bagus untuk es batu. Di sisi lain, kota itu yang dikelilingi perkebunan memiliki penduduk dengan kantong tebal, yang berarti pula berpotensi menjadi konsumen mereka pada masa itu. Pada masa lalu pejabat perkebunan dari daerah sekitar banyak beristirahat di Kota Pematang Siantar.

"Soal nama Badak saya tidak tahu persis. Setahu saya, Surbeck adalah sarjana teknik kimia yang juga pencinta alam. Ia memiliki banyak koleksi tumbuhan dan hewan kering. Saya menduga nama Badak diambil karena kecintaannya kepada alam," kata Elman Tanjung (89) yang berkarier dari mulai menjadi pegawai rendahan pada 1938 hingga menjadi Direktur NV Ijs Fabriek Siantar.

Tanjung mengatakan, pabrik minuman ini berkembang pesat. Perusahaan yang juga mengelola pembangkit listrik dan hotel ini memproduksi sejumlah minuman bersoda dengan berbagai rasa, mulai dari jeruk, anggur, sarsaparila, hingga air soda. Salah satu rasa yang terkenal dan masih digemari masyarakat Pematang Siantar dan Medan adalah rasa sarsaparila, sebuah rasa yang diekstrak dari tumbuhan herbal yang berasal dari Meksiko. Orang Medan kadang menyebut "sarsi" untuk minuman, kependekan dari sarsaparila.

Kisah

Tanjung berkisah, pada zaman dahulu, selain minuman bersoda, NV Ijs Fabriek Siantar juga memproduksi sari buah markisa yang diekspor ke sejumlah negara, seperti Swiss, Belanda, dan Belgia, dengan merek Marquisa Sap. Akan tetapi, produksi ini kemudian terhenti.

Ketika pendudukan Jepang, pabrik ini masih bertahan. Penjajah Jepang menempatkan seorang wakilnya saat mengelola perusahaan ini. Pabrik tetap beroperasi seusai kemerdekaan. Akan tetapi, situasi kemudian berubah ketika Heinrich Surbeck dibunuh oleh laskar rakyat yang memberontak melawan Belanda seusai Proklamasi Kemerdekaan. Dua anak Surbeck sempat diungsikan ke Eropa sehingga mereka selamat.

Meski tanpa kehadiran keluarga Surbeck, NV Ijs Fabriek Siantar tetap beroperasi. Tanjung dan kawan-kawannya tetap mengelola usaha itu hingga kemudian salah satu anak Surbeck, yaitu Lydia Rosa, kembali ke Pematang Siantar pada tahun 1947. Di kota itu Rosa menikah dengan seorang pria Belanda bernama Otto. Otto kemudian mengelola usaha ini hingga tahun 1959.

Gonjang-ganjing di Tanah Air yang disertai isu nasionalisasi aset pada tahun itu menjadikan Otto menyerahkan pengelolaan NV Ijs Fabriek Siantar kepada Tanjung. Sampai tahun 1963, Otto dan Rosa masih berada di Indonesia hingga kemudian mereka keluar dari Indonesia menuju Swiss. Sejak saat itu Tanjung mengelola sepenuhnya usaha ini.

"Saat mengelola usaha ini saya berkenalan dengan Julianus Hutabarat. Ia juga seorang pengusaha. Saya sempat menceritakan kemungkinan pembelian NV Ijs Fabriek Siantar," tutur Tanjung. Hutabarat yang bersama saudara-saudaranya telah memiliki usaha dengan nama Barat Trading Company ternyata berminat. Tanjung kemudian menyampaikan hal itu kepada Otto.

Pada tahun 1969 Hutabarat akhirnya membeli perusahaan itu. Ia membeli dengan cara mencicil hingga pada tahun 1971 perusahaan itu benar-benar menjadi milik Hutabarat sepenuhnya. Perusahaan ini berubah nama menjadi PT Pabrik Es Siantar. Sampai tahun 1987 Tanjung masih dipercaya mengelola perusahaan ini.

"Dulu produksi Badak hingga 35.000 kerat per bulan. Penjualan tidak hanya di Sumatera Utara, tetapi juga sampai ke Jawa," kata Tanjung yang dibenarkan oleh Hendry Hutabarat dan Ronald Hutabarat, anak Julianus Hutabarat.

Ronald yang melanjutkan mengelola perusahaan itu menceritakan, nama Badak memang telah melekat di hati masyarakat Pematang Siantar dan Medan. Mereka mendapatkan konsumen fanatik. Ungkapan ini tidaklah sekadar ucapan jempol. Coba cari di internet dan Anda akan menemukan konsumen fanatik yang masih terkenang dengan Badak!

"Orang Medan dan Pematang Siantar yang telah berada di luar kota pun masih mengingat Badak. Setahu saya sampai sekarang masih ada rumah makan yang menjual Badak di Jakarta, tepatnya di Muara Karang," tuturnya.

Ia mengenang, pada masa lalu PT Pabrik Es Siantar sangatlah masyhur. Mereka juga memasok listrik bagi Kota Pematang Siantar. Bahkan, untuk menghormati pengelola perusahaan ini, bioskop di Pematang Siantar menyediakan tujuh tempat duduk khusus bagi mereka. Tempat duduk dengan warga merah dan tulisan khusus untuk PT Pabrik Es Siantar tertera jelas di tempat itu.

"Ha-ha-ha... bahkan kalau di antara kami belum datang, film belum akan diputar. Mereka terpaksa menunggu kami datang," tutur Ronald menceritakan kisah unik itu saat mereka remaja

Sayang

Sayang sekali produksi Badak sekarang agak berkurang. Produksi diperkirakan hanya tinggal separuh dibandingkan dengan pada saat mereka berjaya. Jenis rasa pun berkurang, sekarang hanya tinggal sarsaparila dan air soda. Banyak hal yang menjadikan produksi Badak menurun.

"Isu kesehatan seperti soal bahaya minuman bersoda menjadikan konsumen berkurang," kata Hendry menyebut salah satu penyebab penurunan produksi minuman bersoda. Soal perubahan fokus usaha yang hanya memproduksi sarsaparila dan air soda, ia menuturkan, permintaan minuman bersoda lainnya sangat kecil sehingga produksinya sangat tidak efisien.

"Untuk membuat satu rasa kita harus membeli satu esens. Kemudian untuk memproduksi satu rasa kita harus membersihkan alat dan mesin minimal empat jam agar tidak terjadi pencampuran rasa. Karena kesulitan itu, kami hanya memproduksi sarsaparila dan air soda," kata Hendry.

Ia melihat, sebenarnya Badak masih bisa dikembangkan lagi. Merek Badak yang telah masyhur juga menjadi aset penting sehingga bila usaha ini dikembangkan, mereka tak perlu membangun nama lagi.

Dari pembicaraan Kompas dengan beberapa orang terungkap sebenarnya sudah banyak pihak yang ingin bekerja sama untuk mengembangkan usaha ini. Beberapa investor bahkan bersedia menyiapkan dana untuk mengibarkan merek Badak. Mereka ingin merek Badak makin berjaya. Sumber

0 komentar:

Follow Me

Blog Archive

Online

Directory

The Republic of Indonesian Blogger | Garuda di Dadaku Text Back Links Exchange Free Automatic Link Free Automatic Backlink http://Link-exchange.comxa.com Powered by Mysiterank

  © Web Design By Septiyans   © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008   ©The Javanese   ©Doea Enam

Back to TOP