Sudan Selatan, Negara Termuda di Dunia
Rabu, 09 Februari 2011
KEMARIN, Senin (7/2/2011) hasil referendum itu diumumkan. Sebanyak 98,83 persen memilih berpisah, sedangkan sisanya 1,17 persen memilih tetap bergabung. “Tidak ada satu orang pun yang menggugat hasil ini,” jelas ketua komisi referendum Muhammad Ibrahim Khalil, saat pengumuman hasil referendum yang dihadiri politikus Sudan, diplomat, staf Perserikatan Bangsa Bangsa dan akademisi di Khartoum, Sudan.
Khalil menguraikan, referendum Sudan berjalan damai dan prosesnya juga dilakukan secara transparan. Khalil juga mengaku Komisi Referendum telah bertemu dengan Presiden Sudan Omar al-Bashir dan Wakil Presiden Salva Kiir yang kemungkinan besar akan menjadi Presiden Sudan Selatan untuk memberitahu hasil ini. Sementara Al-Bashir, juga dinyatakan telah menerima hasil referendum itu.
Euforia rakyat Sudan Selatan atas hasil referendum itu, dihiasi dengan berbagai atraksi. Mereka menari, memukul drum, dan bersorak-sorai. Dilaporkan, Juba, yang dijadikan sebagai Ibu kota Sudan Selatan, sepanjang hari terlihat ceria. Seluruh warganya mengibarkan bendera Sudan Selatan.
“Kami telah bebas, kami mendapatkan kemerdekaan kami. Ini adalah sejarah, kami melihat negara kami lahir,” ucap William Marchar, warga Sudan Selatan yang dulunya tentara. Tak berhenti di situ, rakyat Sudan Selatan kemudian berbondong-bodong ke makam John Garang, mantan pemberontak yang juga presiden pertama Sudan Selatan.
Namun, meski telah merdeka dan merayakan kemerdekaannya pada 9 Juli 2011, Sudan Selatan masih tetap dihantui masalah perbatasan, antara Sudan Selatan dan Sudan Utara yang diprediksi masih berjalan alot. Penyebabnya tentu saja memperebutkan kekayaaan alam yang tersimpan di bawah tanah Sudan, yakni minyak.
Seperti diketahui, sepanjang dua dekade terakhir, perang saudara terjadi antara Sudan yang mayoritas Muslim di Utara dengan wilayah mayoritas Kristen dan Animisme di Selatan. Setidaknya, perang ini telah menelan korban dua juta jiwa sebelum perjanjian damai 2005 disepakati.
Tak bisa dihindari, perang dan kemiskinan yang membelenggu warga Sudan Selatan, akhirnya membuat negara berpenduduk 8,7 juta jiwa ini ditempatkan sebagai negara paling miskin di dunia. Bahkan, diperkirakan sebanyak 85 persen dari populasi Sudan Selatan buta huruf.
Masa-masa suram juga masih menghantui Juba, kota yang akan menjadi ibukota Sudan Selatan. Di sini, jalan yang beraspal hanya sepanjang 48 kilometer. Sementara untuk penerangan, mayoritas warga bergantung pada generator pribadi. Angka kematian bayi juga masih serius, yakni satu dari sepuluh bayi di bawah satu tahun. Sumber
0 komentar:
Posting Komentar